Masyarakat Indonesia dalam
tahun-tahun belakangan ini menjadi semakin akrab dengan istilah
tsunami, terutama pasca peristiwa bencana tsunami Aceh dan Sumatera
Utara di akhir tahun 2004. Meski sesungguhnya peristiwa hantaman
tsunami tersebut bukanlah yang pertama terjadi di Indonesia, namun
dahsyatnya dampak yang ditimbulkan bencana alam tersebut (korban jiwa
mencapai lebih dari 250.000 jiwa belum lagi kerugian materil dan psikis
yang tak terhitung lagi jumlahnya) telah menorehkan trauma yang begitu
mendalam bukan saja bagi masyarakat Aceh dan Sumut yang pada saat itu
mengalami secara langsung, namun juga seluruh masyarakat Indonesia pada
umumnya.
Bagaimanapun juga
harus diakui, Indonesia yang dikenal memiliki potensi sumber daya alam
yang melimpah ternyata menyimpan potensi bencana alam yang “melimpah”
pula. Terkait dengan tsunami, menurut Pusat Vulkanologi dan Mitigasi
Bencana Geologi, setidaknya ada 21 wilayah rawan terkena bencana
tersebut di Indonesia, antara lain: Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera
Utara, Sumatera Barat, Bengkulu, Lampung-Banten, Jawa Tengah Bagian
Selatan, Jawa Timur Bagian Selatan, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa
Tenggara Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan,
Maluku Utara, Maluku Selatan, Biak-Yapen, Balikpapan, Sekurau, Palu,
Talaud, Kendari.
Apakah Tsunami Itu?
Tsunami adalah serangkaian
gelombang atau ombak yang ditimbulkan oleh perpindahan massa air dalam
skala yang relatif sangat besar. Tsunami umumnya terjadi di laut atau
samudera, di mana gelombang dapat bergerak dalam kecepatan mencapai 500
km/jam bahkan lebih dengan tinggi gelombang yang dapat mencapai hingga
puluhan meter.
Istilah tsunami sendiri berasal dari Bahasa Jepang “tsu” yang berarti pelabuhan dan “nami” yang artinya gelombang. Istilah ini diberikan oleh kaum nelayan di Jepang. Ketika pulang melaut seringkali mereka menjumpai keadaan pelabuhan dan area di sekitarnya telah porak-poranda akibat terjangan gelombang laut, padahal mereka sendiri tidak pernah menyadarinya saat sedang berada di tengah laut. Oleh karena itu mereka berasumsi bahwa gelombang besar tersebut hanya terjadi di pelabuhan, sehingga dinamakan “tsunami” atau ombak pelabuhan.
Istilah tsunami sendiri berasal dari Bahasa Jepang “tsu” yang berarti pelabuhan dan “nami” yang artinya gelombang. Istilah ini diberikan oleh kaum nelayan di Jepang. Ketika pulang melaut seringkali mereka menjumpai keadaan pelabuhan dan area di sekitarnya telah porak-poranda akibat terjangan gelombang laut, padahal mereka sendiri tidak pernah menyadarinya saat sedang berada di tengah laut. Oleh karena itu mereka berasumsi bahwa gelombang besar tersebut hanya terjadi di pelabuhan, sehingga dinamakan “tsunami” atau ombak pelabuhan.
Penyebab Tsunami
Mulanya tsunami diasosiasikan dengan gelombang pasang (tidal waves),
padahal meski besar kecilnya dampak tsunami terhadap wilayah di
sepanjang garis pantai dipengaruhi oleh ketinggian pasang surut muka
air laut, namun mekanisme terjadinya tsunami tidak memiliki kaitan sama
sekali dengan peristiwa pasang surutnya air laut. Beberapa ilmuwan
sempat pula menamai tsunami dengan istilah “gelombang seismik lautan” (seismic sea waves),
akan tetapi istilah tersebut juga dapat dikatakan kurang tepat,
mengingat tsunami tidak selalu berkaitan dengan mekanisme seismik atau
kegempaan, melainkan dapat pula dihasilkan oleh penyebab yang bersifat
non-seismik, seperti tanah longsor (baik di bawah maupun di atas
permukaan laut), vulkanisme dan jatuhan meteorit, meski keduanya dapat
dikatakan sangat jarang terjadi.
Secara umum, ada 4 (empat) penyebab utama yang dapat mencetuskan gelombang tsunami, di antaranya:
Secara umum, ada 4 (empat) penyebab utama yang dapat mencetuskan gelombang tsunami, di antaranya:
- Tektonisme bawah laut
- Erupsi gunungapi bawah laut
- Tanah longsor di bawah atau di atas permukaan laut
- Jatuhan material luar angkasa (meteor)
Dari keempat poin di atas, gempa bumi merupakan yang paling sering menyebabkan tsunami. Di mana 90% tsunami yang pernah terjadi di muka bumi ini dipicu oleh aktivitas tektonisme bawah laut ini. Tektonisme bawah laut dapat menghasilkan pergerakan kerak bumi di bawah laut secara tiba-tiba –dapat berupa pengangkatan (uplift) atau penurunan (subsidence) lantai samudera— yang mengakibatkan terjadinya perubahan kondisi kesetimbangan air yang berada di atasnya. Akibatnya terbentuklah gelombang sebagai akibat dari perpindahan massa air dalam skala yang sangat besar, yang bergerak di bawah pengaruh gravitasi dengan tujuan akhir untuk mencapai kondisi kesetimbangannya kembali.
Untuk tsunami yang dicetuskan oleh tektonisme, sejumlah syarat harus dipenuhi, di antaranya:
- Pusat gempa (hiposentrum) berada di dasar laut dengan kedalaman kurang dari 60 km.
- Magnitudo gempa harus melebihi batas minimal sesuai dengan Persamaan Iida, M = 6.42 + 0.01 H, di mana H = kedalaman hiposenter. Dengan demikian paling tidak magnitude gempa harus sedikit di atas 6.42 skala Richter.
- Deformasi yang mengakibatkan gempa di dasar laut, mekanisme pergerakannya vertikal (dip-slip), seperti patahan naik (thrust fault) atau patahan normal (normal fault).
Letusan gunungapi bawah laut
dapat menciptakan gaya yang mengakibatkan pengangkatan kolom air
sehingga menghasilkan tsunami. Pada tahun 1883 letusan gunungapi
Krakatau di Selat Sunda menciptakan gelombang tsunami yang dahsyat.
Mengakibatkan 36.000 korban jiwa, ribuan kapal tenggelam dan beberapa
pula kecil hilang.
Longsoran di bawah laut yang biasanya merupakan dampak ikutan dari gempa bumi sebagaimana pula jatuhan material erupsi gunungapi di bawah laut dapat mencetuskan gelombang tsunami akibat terganggunya kesetimbangan posisi air.
Jatuhan material luar angkasa juga dapat menyebabkan tsunami, seperti halnya longsoran tebing di atas permukaan laut. Agak berbeda dengan penyebab lainnya, terbentuknya tsunami dalam hal ini disebabkan oleh tabrakan dari atas permukaan yang mengganggu kesetimbangan air. Sebagai gambaran, film produksi Hollywood yang berjudul “Deep Impact” kurang lebih memperlihatkan mekanisme terjadinya tsunami akibat hantaman asteroid ke dalam samudera.
Longsoran di bawah laut yang biasanya merupakan dampak ikutan dari gempa bumi sebagaimana pula jatuhan material erupsi gunungapi di bawah laut dapat mencetuskan gelombang tsunami akibat terganggunya kesetimbangan posisi air.
Jatuhan material luar angkasa juga dapat menyebabkan tsunami, seperti halnya longsoran tebing di atas permukaan laut. Agak berbeda dengan penyebab lainnya, terbentuknya tsunami dalam hal ini disebabkan oleh tabrakan dari atas permukaan yang mengganggu kesetimbangan air. Sebagai gambaran, film produksi Hollywood yang berjudul “Deep Impact” kurang lebih memperlihatkan mekanisme terjadinya tsunami akibat hantaman asteroid ke dalam samudera.
0 komentar:
Posting Komentar